• Convallis consequat

    Lorem ipsum integer tincidunt quisque tristique sollicitudin eros sapien, ultrices primis volutpat tempor curabitur duis mattis dapibus, felis amet faucibus...

  • Augue nullam mauris

    Lorem ipsum integer tincidunt quisque tristique sollicitudin eros sapien, ultrices primis volutpat tempor curabitur duis mattis dapibus, felis amet faucibus...

  • Donec conubia volutpat

    Lorem ipsum integer tincidunt quisque tristique sollicitudin eros sapien, ultrices primis volutpat tempor curabitur duis mattis dapibus, felis amet faucibus...

  • Primis volutpat tempor

    Lorem ipsum integer tincidunt quisque tristique sollicitudin eros sapien, ultrices primis volutpat tempor curabitur duis mattis dapibus, felis amet faucibus...

PESANTREN #RISET 6

Pada suatu hari di sebuah kamar di Jabal Tour 2 (kamar siapa ya?) hehe siapa lagi kalau bukan kamar saya (zzzz). Nah, nampak seorang senior sedang menumpang melipat baju. Numpang kok melipat baju ya? Ya emangnya numpang tidur atau mandi aja? Beliau tidak lain adalah kakak angkatan saya di kampus di lintas fakultas. Lantas saya berfikir sejenak, daridulu saya sebenarnya kepengen banget ngobrol dengan beliau, ngobrol serius. Tanya kenapa? Karena saya rasa beliau adalah salah satu orang yang memotivasi saya secara tidak langsung. Betapa tidak, walaupun saya satu atap dengan beliau, sama-sama santri, bedanya beliau lebih senior namun entah mengapa sepanjang kebersamaan kami, saya merasa beliau adalah sosok teladan yang luar biasa. Padahal kalau ditanya, saya sendiri pun jarang sekali ngobrol dengan beliau, sapa menyapa saja bisa dihitung, paling cuma salam dan senyum. Ya mungkin karena kami terpaut umur dan jarak (Lho? Ya ga lah). Lebih tepatnya karena mungkin beliau sangat sibuk. Dan saya? Pura-pura sibuk. Hmm tapi kali ini Allah berkehendak lain, kami dipertemukan malah di kamar saya sendiri, dan disitu saya memberanikan diri untuk bertanya. Bertanya tentang pertanyaan yang sudah sejak lama ada di dalam benak saya. Sebut saja namanya mbak Iis.
Saya     : Mbak is, boleh saya tanya sesuatu?
Iis        : Boleh, mau tanya apa?
Saya     : Emm jadi gini, kenapa mbak masih tetep bisa aktif di perkuliahan, organisasi, dan lain sebagainya padahal juga nyantri? Banyak orang yang bilang kan mbak, kalo mereka ga mau masuk pesantren karena rapat-rapat atau agenda organisasi atau yang lain itu juga terkadang sampai malam, nah sedangkan di pesantren kan mempunyai aturan sendiri yang tidak memperbolehkan keluar malam? Mereka bilang juga itu akan berdampak pada tidak maksimalnya peran-peran mereka.
            ***
            Saya menceritakan berbagai pendapat orang tentang pesantren manakala di kaitkan dengan status mahasiswa. Dengan penuh semangat dan menggebu-gebu, kata-kata saya yang panjangnya hampir membuat saya kelelahan sendiri ketika bercerita, dan mbak Iis menjawab.
“Menurut eva sendiri mbak Iis gimana?”
“Waduh mbak, saya itu tanya biar jawaban mbak Iis bisa menjernihkan pikiran saya kok saya malah disuruh menjawab sendiri, ya nanti bisa jadi tambah keruh mbak..Hehe”

“Emm, hal itu sudah pasti ada di dalam kehidupan kita dek, stigma negatif dan stigma positif. Dan yang terpenting adalah cara menyikapinya. Memang itu semua akhirnya kembali ke pilihan masing-masing orang. Buat mbak Iis, belajar agama itu penting. Dan jalan termudah untuk belajar agama adalah berada di lingkungan yang mendukung untuk itu. Yaitu pesantren atau asrama. Nah, pastinya akan banyak konsekuensi yang kita dapat ketika memutuskan untuk nyantri dan juga kuliah. Ya yang seperti kamu ceritakan tadi, mungkin nanti kita tidak akan maksimal ketika di jam-jam malam hari. Tapi justru karena itu, berarti kita harus maksimalkan peran-peran kita pada waktu siang hari. Latihlah dirimu untuk selalu tampil di depan orang banyak, entah di depan kelas atau dimanapun. Buktikan bahwa gelar santri yang kamu bawa itu tidak berpengaruh apapun terhadap aktivitasmu. Jadi rubahlah pendapat orang menjadi, “Oh, ternyata dia santri juga bisa aktif di organisasi.” “Oh, ternyata dia santri juga bisa berprestasi.”


Di 19 Julimu, adikku :)

Di 19 Julimu ini, maaf aku belum menjadi kakak yang terbaik untukmu, belum memberikan sesuatu yang berharga untukmu.. adikku

Maaf, tak ada pita atau bungkusan besar untukmu. Tak ada api lilin, juga manis dan lezatnya kue tart dariku. Tak perlu khawatir, bahkan, di hari yang bukan ulang tahunmu saja, doaku mengalir deras untukmu, di dalam sujudku pada Sang Pencipta Hati.

Dua puluh tahun bukanlah masa yang singkat, adikku. Pastilah kau melewatinya dengan penuh perjuangan. Ah, aku yakin kau adalah wanita yang tangguh. Tak perlu waktu yang lama untuk mengenalmu, karena sejak takdir mempertemukan kita satu tahun silam aku selalu iri kepadamu. Ya, dengan semangat belajarmu yang luar biasa, senyum ceria yang bahkan tak pernah kau lewatkan setiap kali kita bertemu, serta tawa riang yang kau hadirkan setiap sapaan manis seorang muslim yang bertemu muslim yang lain. Aku iri padamu, kau bahkan lebih baik daripada kakakmu ini. Maaf, belum bisa menjadi contoh yang baik untukmu, adikku.

Maafkan, atas semua kesalahan-kesalahan kakak kepadamu, janji-janji yang tak sempat terealisasi, mata yang kadang tak melihat, telinga yang kadang tak mendengar, dan hati yang kadang bisa tak merasa..

Adikku yang shalihah, betapa ku merasa bangga berkesempatan untuk mengenalmu dan menjadikanmu bagian dari keluargaku.
Pesanku dari seorang kakak, sebuah keniscayaan kita bertambah tua, namun sebuah pilihan untuk bertambah dewasa. Untuk itu betapa ingin aku ingin mengajakmu menginsafi diri. Mahabaik Allah yang telah limpahkan segala macam hal bahkan tanpa kita mesti minta. Nikmat iman yang membuat kita tertunduk pada keagunganNya, nikmat Islam yang membawa ketenangan, nikmat memiliki kesehatan, keindahan paras, bisa bersekolah, hingga nikmat memiliki keluarga.

Ah, kakak yakin kelak kau akan jadi Guru yang baik untuk ummat. Guru yang menginspirasi banyak orang. Kau tau? Satu kali aku mengamatimu. Seperti waktu kau mengisi acara di panti, seketika aku merasa kau sangat mahir dalam berkomunikasi. Semua orang tertegun mendengarkanmu, bercerita membagi ilmu agama. Ah, lagi-lagi. Betapa ku ingin belajar banyak darimu adikku. Aku yakin saat itu, yang sedikit darimu akan bermanfaat untuk banyak orang. Dan ketika itu, amalmu akan terus mengalir deras. Allahumma Aamiin.. ^^

Terakhir 'sedikit' pesan untukmu dariku adikku, teruslah menuntut ilmu. Investasi paling besar kita sebagai seorang muslim adalah ilmu pengetahuan. Wajib hukumnya kita menuntut ilmu.
Maka, berapapun biaya, seberapa jauhpun jarak, ilmu itu tiada pernah terukur dengan uang dan jarak.
Carilah ilmu, belajarlah sepanjang nyawa masih dikandung badan.
"Teruslah bergerak, hingga kelelahan itu lelah mengikutimu. Teruslah berlari, hingga kebosanan itu bosan mengejarmu. Teruslah berjalan, hingga keletihan itu letih bersamamu. Teruslah bertahan, hingga kefuturan itu futur menyertaimu. Tetaplah berjaga, hingga kelesuan itu lesu menemanimu."
Ialah hidup, yang mengijinkanmu untuk berlaku sedemikian, baik dan buruk. Ialah hidup, hadiah terindah dari Allah yang menciptakanmu, agar dengan episode itu engkau mampu belajar dan mengambil pelajaran.Dan ialah hidup, yang membuatmu segan, senantiasa bersabar dan bersyukur.
Dan karena hidup itu, SABAR DAN SYUKUR.

Adikku, Ima, selamat hari lahir. Semoga keberkahan tercurah padamu. Semoga kedewasaan dan kemandirian mewujud dalam dirimu.

PESANTREN #RISET 5

Di suatu suatu hari saya bercakap ringan dengan salah seorang teman sekamar saya di pesantren, namanya Rima. Ia adalah mahasiswi jurusan pendidikan kedokteran di Universitas Gajah Mada. Saya yang waktu itu berkesempatan untuk mewawancarai dia seputar #pesantren memberanikan diri untuk bertanya..
Saya    : Rim, kenapa sih dulu kamu minat masuk pesantren? Bukannya banyak orang bilang kalo pesantren itu ga asik? Terus bikin kita ga bebas?
Rima   : Ya biar saja banyak orang bilang begitu, tapi yang jelas disini aku ingin banyak belajar tentang agama Islam.
Saya    : Memangnya orangtua membolehkanmu untuk nyantri rim?
Rima   : Jelas enggak. Orangtuaku itu beragama Islam, tapi tidak agamis banget. Tau sendiri lah kalau keluarga yang ga terlalu Islami kan ketakutan kalo anaknya mendadak berubah jadi lebih tertutup entar disangka kena pengaruh buruk dan sebagainya.
Saya    : Lalu apa yang kamu lakukan saat niatanmu tidak disetujui orangtuamu?
Rima   : Ya tetap bersikeras untuk nyantri. Apapun resikonya aku tidak akan mengendurkan niatanku, selama itu baik dan benar. Sempat waktu aku telah menjadi santriwati di pesantren, ayahku tak mau berbicara denganku selama sebulan.
Saya    : Wah, ngeri juga ya ayahmu itu. Lalu bagaimana?
Rima   : Ya sudah. Ayah mungkin capek melarangku terus, karena aku selalu ngotot. Apabila keinginanku tak terpenuhi aku akan tetap berusaha sekuat mungkin untuk mewujudkannya jadi sampai sekarang ya ayah membiarkanku untuk belajar di pesantren ini. Ya walaupun awalnya harus berjuang keras, namun aku lega kini ayahku sedikit senang dengan perubahanku.
Saya    : Memangnya perubahan apa yang kamu dapat atau rasakan setelah masuk pesantren?
Rima   : Banyak hal lah. Kau tentu tau, disini kita mendapatkan ilmu yang sangat berharga. Tempat ini juga berhasil merubah orientasi hidupku bahwa tujuan kita bukan hanya dunia semata namun juga akherat.

--to be continue

PESANTREN #RISET 4

Lanjut lagi. Mayoritas orang mengatakan bahwa pesantren adalah tempat mendisiplinkan diri. Kali ini saya tidak akan mengelak. Memang benar, pesantren adalah tempat yang sangat tepat dan cocok bagi orang-orang yang ingin menjauhkan dirinya dari kemalasan. Kemalasan apa saja? Banyak. Tidak hanya dalam hal malas beribadah saja. Namun dalam hal lainnya pun juga. Ngakunya punya agama tapi kok malas beribadah ya? Ngakunya agamanya Islam tapi kok ga pernah sholat ya? Bukannya sholat tiang agama? Memang kadar kemalasan yang sering terjadi dan ini pun juga yang saya alami, bangun di awal waktu. Tak jarang menemukan seseorang yang mengeluhkan kemalasan yang ada di dirinya karena membuatnya lupa akan kewajiban terhadap Tuhan-Nya. Sholat Subuh. Tidak bisa dipungkiri bahwa kemalasan tingkat akut dialami pada saat bangun pagi. Ya walaupun tidak semua orang demikian. Namun hampir dipastikan pada umumnya waktu yang rentan dalam kemalasan adalah pada saat-saat itu. Saat dimana godaan begitu mengoyak, ditambah cuaca dingin yang menarik selimut agar badan tetap dalam kehangatan. Mata hanya ingin terpejam, rasanya sangat berat untuk beranjak dari kasur dan bantal yang empuk itu. Oh godaan, kau begitu melenakan. Hmm, pengalaman berikut memang nyata. Tak hanya dirasakan oleh satu atau dua orang. Saya rasa semua juga merasakan. Namun hanya beberapa orang saja yang memutuskan untuk melawan godaan tersebut. Hal ini biasanya menyebabkan lalainya kewajiban Sholat Subuh. Sudah melaksanakan kewajiban Sholat Subuh kok, tapi pada saat matahari sudah terbit. Itu Sholat Subuh apa Sholat Dhuha ya? Hmm. Fenomena-fenomena seperti inilah yang membuat pesantren sangat diminati bagi kalangan masyarakat yang ingin pendisiplinkan diri dalam hal keagamaan. Tidak hanya itu, pesantren juga mengajarkan tentang bagaimana pentingnya toleransi antar umat muslim, karena kami hidup dalam satu atap maka intensitas bertemu satu sama lain adalah suatu hal yang pasti. Maka tak jarang kami melakukan segala sesuatu secara bersama-sama, saling membantu bila ada yang kesusahan, dan berbagi apa saja bila ada yang membutuhkan.

--to be continue


PESANTREN #RISET 3

Menyambung tentang pesantren. Menurut beberapa orang yang saya tanyai, kurang lebih mereka mengatakan bahwa pesantren adalah tempatnya orang-orang solih. Seketika dalam hati saya mengaamiini. Tidak bisa dipungkiri bahwa memang tidak ada habisnya kami setiap hari belajar, mengkaji, dan menyelami tentang ilmu-ilmu agama Islam. Mencintai Al-Quran hingga di dasar hati kami tertambat oleh kitab suci yang Maha Dasyat sebagai pedoman hidup kami. Saling mengingatkan kebaikan dan taat kepada Allah, saling mengasihi dalam permasalahan dan perbedaan apapun, dan banyak hal yang membuat ikatan cinta persaudaraan kami semakin menguat. Ya cinta kami satu. Cinta karena Allah. Namun rasanya terlalu berat bila dilabeli ‘Anak santri pasti solih..’ Hmm. Disini saya mulai berfikir, betapa Maha Agung-nya Allah telah menutup aib-aib saya hingga orang-orang melihat saya tanpa cela, padahal bila Allah berkenan membuka aib-aib saya itu, pasti tidak akan ada yang mau dekat-dekat dengan saya karena kotornya hati dan perangai buruk lainnya. Apalagi saya juga sering dipanggil ‘Bu Ustadzah..’ Ya Allah.. lagi-lagi saya hanya bisa mengaamiini. Terkadang saya merasa tak pantas mendapat julukan itu, saya yang hanya wanita biasa, dengan ketakwaan yang biasa, ketabahan yang tak seberapa merasa masih sangat jauh dari sempurna. Ya memang tidak ada manusia yang sempurna. Kesempurnaan hanya milik Allah semata. Namun, yang saya maksud disini adalah Akhlaq yang sempurna. Seseorang yang memiliki aqidah yang kuat, pemahaman Fiqih yang dahsyat otomatis akan membuat Akhlaq orang tersebut tampak sempurna. Dan saya masih jauh dari itu. Bukan berarti yang namanya pesantren sudah pasti semuanya solih, nanti jadi ustad/ustadzah atau akhlaqnya pasti baik ya. Hanya saja kami belajar untuk dapat seperti itu. Siapa sih yang ga mau jadi orang solih? Siapa sih yang ga mau jadi ustad or ustadzah yang dinilai punya pemahaman ilmu agama yang luas? Atau siapa juga yang ga mau punya akhlaq sempurna hingga sampai ke surga? Saya kira, seseorang yang mau menjadi baik tapi tidak mau berusaha menjadi baik sesungguhnya adalah orang yang merugi.



Cahaya Islam di Bumi Papua


 Sahabat, satu lagi kisah inspirasi yang saya temukan dari sosok da’i yang luar biasa dari papua.

Dibalik cerita yang dia kemukakan, terkandung sebuah inspirasi dan motivasi besar untuk diri ini.

Ternyata perjuangan yang kita lakukan demi dakwah ini, tak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan perjuangan mensyiarkan Islam dari orang yang ada luar biasa ini.

Betapa tidak, untuk sebatas wilayah kampus saja, terkadang terasa begitu berat, banyak sekali kata-kata mengeluh terlontar dari mulut ini, hanya karena setitik rintangan yang dihadapi. Ya Raab terimakasih kau telah memberikan inspirasi ini untuk hamba.


SANG PERINTIS BENDERANGNYA CAHAYA ISLAM DI BUMI PAPUA (USTADZ SABUN)

 



Papua, dikenal sebagai salah satu penghasil emas terbesar di dunia. Tak hanya emas, sumber daya alam lainnya pun melimpah. Bumi cenderawasih begitu kaya. Tapi ternyata, kekayaan itu tidak mengangkat derajat hidup masyarakat di sana. Mayoritas masyarakat masih hidup miskin, bahkan sebagaian besar penduduk asli masih tinggal di pedalaman.

Julukan sebagai salah satu provinsi yang tertinggal lantas kerap disematkan pada wilayah paling timur di Indonesia ini. Jika ada orang Papua yang punya keistimewaan, mereka kerap dijuluki sebagai mutiara hitam. Dan salah satu yang layak memperoleh ‘gelar’ itu adalah Muhammad Zaaf Ustaz Fadhlan Rabbani Al-Garamatan.

Pria kelahiran Patipi, Fak-Fak, 17 Mei 1969 itu, adalah putra dari pasangan Machmud Ibnu Abu Bakar Ibnu Husein Ibnu Suar Al-Garamatan dan Siti Rukiah binti Ismail Ibnu Muhammad Iribaram. Sejak tahun 1985, ia memulai dakwahnya di bumi Papua. Ustaz Fadhlan , lebih senang menyebut Papua dengan Nuu Waar.

Nuu Waar adalah nama pertama untuk Papua, sebelum berubah menjadi Irian Jaya, dan Papua saat ini. Nuu Waar, dalam bahasa orang Papua, berarti cahaya yang menyimpan rahasia alam. “Papua dalam bahasa setempat berarti keriting. Karena itu, komunitas Muslim lebih senang menyebutnya dengan Nuu Waar dibandingkan Irian atau Papua,” ujar Ustaz Fadhlan kepada kami, di sela-sela kunjungannya pada peresmian pesantren HILAL Bogor 22 mei lalu.

Ustaz Fadhlan menegaskan, berdasarkan catatan sejarah, Islam adalah agama yang lebih dulu masuk ke Nuu Waar, terutama di Fak-Fak, dibandingkan dengan Kristen. Namun, karena misionaris lebih gencar menyebarkan paham agamanya, maka jadilah agama ini tampak dominan. “Padahal, saat ini jumlah umat Islam bisa lebih banyak dari orang Kristen di sana,” ujarnya.

Karena itulah, ustad yang selalu memakai gamis itu terpanggil untuk mengembalikan kejayaan Islam ke bumi Nuu Waar. Di Fak-Fak khususnya, terdapat kerajaan Islam pertama di Papua, dan Ustaz Fadhlan adalah salah seorang generasi kesekian dari kerajaan Islam itu. Nenek moyangnya dulu adalah penguasa kerajaan Islam disana.

Sebagai penanggung jawab meneruskan kerajaan Islam, Ustaz Fadhlan berkewajiban untuk membangkitkan kembali kejayaan Islam di Nuu Waar. Ia masuk keluar masuk pedalaman, turun dan naik gunung menyebarkan Islam. Bahkan harus berjalan kaki untuk mengenalkan dakwah Islam kepada penduduk setempat. “Alhamdulillah, sudah banyak yang mengenal Islam.”

Lalu mengapa dirinya tetap mau berdakwah ditengah sulitnya kondisi alam dan luasnya wilayah dakwah? Bagi Ustaz Fadhlan , disitulah tantangannya. “Kami berkewajiban untuk menyampaikan risalah Islam. Jika di akhirat kelak malaikat bertanya; “Mengapa ada saudaramu di pedalaman yang belum memeluk Islam?” Itu berarti tanggung jawab kita semua, umat Muslim di Indonesia, yang belum mampu mendakwahkan ajaran Islam dengan baik,” terangnya.

Dalam mengenalkan Islam kepada penduduk setempat tidaklah mudah. Banyak tantangan dan rintangan yang dihadapi. Mulai dari soal luas wilayah, kondisi alam yang sulit karena terjal, bebatuan, ada pegunungan, dan lainnya. Namun, semua itu tidak membuat Ustaz Fadhlan dan rekan-rekannya berhenti dalam berdakwah.

“Dulu, sebelum ada kapal Al Fatih Kafilah Nusantara (AFKN) 1 dan 2, untuk mencapai tempat yang dituju, kami harus berjalan kaki, dan itu bisa membutuhkan waktu hingga tiga bulan. Terkadang ada binatang buas juga. Tapi itu semua adalah tantangan untuk ditaklukkan,” ujarnya.

Rintangan bukan hanya soal kondisi alam saja, tetapi respon penduduk setempat. “Terkadang ada juga yang melemparkan tombak bahkan panah. Ya, itu sudah biasa kami alami. Itu belum seberapa dibandingkan perjuangan Rasulullah. Beliau bahkan diusir dari negerinya (Makkah), karena ketidaksukaan penduduknya menerima dakwah Rasul. Namun beliau tetap sabar. Karena itu pula, kami pun harus sabar,” terangnya.

Begitu beratnya tantangan dakwah, tak sedikit beberapa anggota dai yang dibawa Ustaz Fadhlan memilih kembali pulang. Mereka ngeri mendengar berbagai ancaman yang ada. “Saya katakan, apakah mereka siap mati syahid? Dari 20 orang yang bertahan hanya tujuh orang.”

Dengan penuh kesabaran dan keikhlasan, serta tawakal kepada Allah, berbagai usaha dan upayanya, kini membuahkan hasil. Sudah banyak penduduk Papua yang menjadi Muslim. Ia menyebutkan sekitar 221 suku yang sudah memeluk Islam. Subhanallah..! Jumlah warga tiap suku bervariasi, mulai dari ratusan sampai ribuan. Jika dipukul rata tiap suku seribu orang, maka kerja keras Ustad Fadlan sudah mengislamkan 220 ribu orang Papua pedalaman.

Ini belum termasuk jumlah tempat ibadah yang dibangun. Mungkin ratusan jumlahnya.
Inovasi dakwah yang dilakukan Ustadz Fadzlan telah menyentuh masyarakat Papua yang sebelumnya jahiliyah menjadi masyarakat yang menjunjung tinggi peradaban. Sederhana saja, ia kenalkan Islam pada masyarakat Papua melalui sabun mandi. Perlu diketahui, sebelum mengenal Islam, orang Irian terbiasa mandi dengan melulurkan minyak babi ke tubuh mereka. Katanya untuk menghindari nyamuk dan udara dingin. Sejak “berkenalan” dengan sabun mandi, masyarakat Papua itu kini tak lagi menggunakan lemak babi.

“Kami berdakwah tentang kebersihan secara bertahap. Suatu ketika pernah ada seorang kepala suku yang begitu menikmati sabun mandi. Kemudian tanpa dibilas lagi, kepala suku itu langsung keliling kampung karena merasa senang dengan bau wangi sabun ditubunya,” kenang Fadzlan seraya tersenyum lebar.

Bukan hanya sabun mandi, Ustadz Fadzlan juga mengajarkan masyarakat Nuuwar yang selama ini hanya mengenakan koteka (bagi yang pria) lalu secara bertahap mulai mengenakan pakaian.
“Awalnya kami kenalkan celana kolor, mereka tertawa. Namun, ketika mereka memakainya dan lama-lama enjoy, malah akhirnya malu melepasnya. Lalu kami bawakan cermin. Ketika masih telanjang, mereka takut melihat bayangannya sendiri. Setelah memakai celana dan baju, mereka merasakan perubahan dalam dirinya. Ternyata lebih bagus,” kata Fadzlan yang juga menjembatani generasi Nuuwar untuk mendapatkan beasiswa pendidikan.

Dakwah Dengan Sepotong Sabun

Beliau memulai dakwah di Papua pada era 80-an. Saat itu, dimana transportasi hanya mengandalkan kekuatan telapak kaki, lamanya jarak tempuh antara Papua dan Wamena mencapai dua bulan perjalanan. Akhirnya saat berangkat, masih dalam jarak sekitar dua minggu perjalanan bekal mereka habis. Rombongan da’i ini kemudian memutuskan untuk kembali pulang. Akhirnya, mereka memilih strategi untuk menumpangi pesawat para misionaris, dengan mengganti nama mereka menjadi nama beraroma kristiani.
Sesampainya disana ustadz Fadlan amat terenyuh melihat kondisi masyarakat yang amat memprihatinkan. Harkat sebagai manusia seperti telah dibusukkan bersama gerobak sampah. Martabat mulia sebagai mahkluk ciptaan yang istimewa bagai dipoles bersama-sama dengan aspal hitam jalanan. Disana ia mendapati penduduk papua melumuri minyak babi ke tubuhnya yang mereka kenal denga ritual mandi. Tidak hanya sampai disitu, para ibupun ketika selesai menyusui anak-anak mereka maka mereka kemudian menyusui anak-anak babi.
Kemudian Ustadz ini menawarkan sepotong sabun kepada kepala suku. Selanjutnya sang kepala suku melumuri tubuhnya dengan sabun tersebut tanpa membilasnya persis seperti mereka melumuri tubuhny dengan minyak babi. Saking senang dengan keharuman yang didapatnya dari sepotong sabun tadi, sang kepala suku berlarian keliling kampung. Seketika hujan mengguyurnya dengan kesegaran yang luarbiasa. Saat itulah sang kepala suku merasakan kolaborasi kenikmatan segar dan harum sekaligus. Kemudian dengan perasaan yang masih berbunga-bunga ia mendatangi ustadz Fadlan untuk berterima kasih “Terima kasih anang, inilah cara membersihkan tubuh yang benar. Tuhan langsung memandikan saya dengan airnya dari langit” Kemudian Ustadz Fadlan dan rombongan sholat berjama’ah dengan dikelilingi oleh para penduduk. Selama sholat, sang kepala suku memperhatikan mereka dengan keheranan dan tidak sabar menunggu mereka selesai untuk segera bertanya.
Nang, tadi Bapak liat anang komat kamit sambil angkat-angkat tangan itu apa maksudnya?” Bapak Kepala suku bertanya dengan lugas. “Tadi kami baru menyelenggarakan sholat Pak. Agama kami Islam dan tuhan kami Allah. Kami diajarkan untuk menemui-Nya sehari lima kali. Nah, Dialah Yang Maha Kuasa sehingga kemudian kami mengangkat tangan sebagai tanda tiadanya kuasa kami atas diri sendiri.” Ustadz Fadlan mencoba menjelaskan. “Terus Nang, kalau yang tadi anang tunduk-tunduk, apa maksudnya itu, Nang?”. Kepala suku kembali bertanya. “Artinya kita mestilah melihat kembali ke bawah, ke bumi ini. Apa-apa yang ada, kita pelihara, jaga dan lestarikan. Karena untuk itu kita diciptakan. Bukan hanya untuk menikmati, mengkonsumsi.” Dengan bijak ustadz Fadlan mengurai jawaban. “Oh iya, saya setuju dengan Anang. Tapi tadi saya lihat Anang ini sujud mencium-cium papan. Itu apa maksud Anang melakukan itu?” tanya kepala suku yang masih diliputi mimik keingintahuan tersebut. “Itu artinya bahwa Anang dan kawan-kawan semua harus selalu ingat bahwa asal kita adalah dari tanah. Maka tidak boeh ada sedikitpun kesombongan tumbuh dalam hati kita. Itu upaya kita untuk mengingat-ingat bahwa diri kita ini adalah ciptaan saja.” Tanpa bosan ustadz Fadlan tetap meladeni setiap pertanyaan Kepala Suku. “Kemudian Nang, apa tujuan Anang menengokkan kepala ke kanan lalu ke kiri di gerakan terakhir tadi?” Kepala suku pun tak jenuh mengajukan pertanyaan yang mengusik hatinya. “Setelah tadi kami memenuhi hak Allah sebagai tuhan kami maka kemudian kami tetap harus memperhatikan saudara kami di sebelah kanan dan sebelah kiri. Ketika kami melihat ke sebelah kanan dan masih menemukan saudara kami yang bergelimang minyak babi maka akan kami beri mereka sabun untuk membersihkan diri. Ketika kami menoleh ke kiri dan masih menyaksikan saudara kami dalam keadaan telanjang maka akan kami beri mereka pakaian. Ini tanggung jawab moral kita terhadap sesama manusia
Lalu Sang Kepala Suku kemudian bersyahadah bahwa Allah-lah tuhannya dan Muhammad sebagai Rasul yang diutuskan untuk menyampaikan pencerahan dengan berpedoman pada Islam. Syahadah yang kemudian diikuti oleh sekitar 3.720 penduduk yang hadir disana. Lalu para penduduk melakukan mandi masal dengan sepotong sabun yang dibagi empat. Inilah menariknya dakwah dengan modal, sepotong sabun.

Pernah Dipanah Saat Berdakwah
Pada tahun 1994, Ustadz Fadlan dan rekan-rekan berencana untuk berdakwah disebuah daerah sejauh sembilan hari perjalanan dari Papua. Dari sekitar dua pulun da’i yang ada, hanya sekitar enam da’i yang berani memutuskan untuk berangkat. Bukan hanya terkait masalah jarak karena disana para penduduk sudah diperingatkan oleh para misionaris akan kedatangan mereka. Dan sambutan lontaran-lontaran anak panah para penduduk sudah siap menanti mereka. Selama perjalanan, sang ustadz t terus menanyakan kembali komitmen para rekannya untuk menghadapi bahaya yang mengancam.
Benarlah, di hadapan mereka telah siap penduduk yang tersebar di berbagai tempat dengan panahnya masing-masing. Dalam jarak yang sudah teramat dekat dengan lokasi kemudian ia berpesan agar teman-temannya segera pergi apabila nanti ia terkena tembakan anak panak beracun tersebut. Lantas beliau maju menghampiri. Slassssshhh......anak panah pertama mengenai tangan kirinya. Ia tetap melanjutkan langkahnya sampai kemudian slassshhhhhhhh........satu anak panah lagi bersarang di lengan kanannya. Ia limbung dan jatuh. Kemudian terbayang bagaimana siroh menceritakan getirnya dakwah Rasulullah di Tho’if. Kemudian beliau mengangkat tangan ke langit dan bersyukur kepada Allah bahwa ia daat merasakan nikmatnya dakwah ini. Serta rasa syukur bahwa ujian yang ia nilai tidak seberapa bila dibandingkan dengan Rasulullah. Dengan tenaga tersisa ia tetap mencoba mendekati sesosok tubuh yang ia yakini sebagai pemimpin mereka. Kemudian ia mengulurkan tangannya pada sosok itu “Kalau memang saya tidak diperkenankan berkunjung, saya akan kembali. Mohon maaf telah merepotkan Bapak.” Sang kepala suku tertunduk lemas dan menangis “Anang, ijinkan saya mengantar anang pulang” sang kepala Suku merengek.Kepala suku akhirnya juga ikut mengantar sang ustadz berobat ke Makassar. Disana kemudian Kepala Suku melihat nikmatnya ibadah sang ustadz dan rekan-rekan. Dan saat pulang sang kepala suku mengajak pengikutnya secara beramai-ramai menjadikan Islam sebagai landasan hidup. Subhanallah.


Sahabat, semoga kisah  ini mampu memberikan motivasi baru, baik bagi para kader dakwah, maupun pagi para pembaca pada umumnya. Semoga kita bisa tetap istiqomah dalam menjalankan amanah dakwah ini, karena kita telah diberikan medan yang lebih ringan dari pada perjuangan Ustadz padlan ini. Maka harusnya dakwah kita harus lebih optimal.
KERJA KERAS, KERJA CERDAS, KERJA IKHLAS
n_n

course :

http://jundi313.blogspot.com/2009/04/fadlan-ustadz-keriting-perintis.html

Sang Penyemangat Jihad


Coretan puisi anak-anak tokoh PKS yang sedang “dikerjai” KPK yang menyentuh hati siapa saja yang membaca. Bagi mereka Ust Luthfi Hasan Ishaaq adalah pahlawan yang senantiasa menggelorakan jihad. Allah pasti akan mengembalikan Sang Ayah ke dalam keluarga yang harmonis, penuh dengan cinta.

Sang Penyemangat Jihad

masih teringat jelas
berat suara nafasmu
perlahan…
tertahan..
beradu dengan langkah sayupmu
kala kau pulang pukul 03.47
kemudian disusul dengan suara asing dari channel TV kesukaanmu
atau suara bisikan bibirmu mengucap, kala kau membaca buku…
atau tawa lepasmu yang menyusul tepat beberapa menit setelah suara telfonmu mendayu..

masih teringat jelas, ayah…
kelembutan sekaligus lelah yang tertahan dan terpaksa terpancar disorot matamu
kala pagi kami hendak berangkat sekolah
pelukan hangatmu yang seolah tidak risih akan gerak-gerik kami yang membangunkanmu dari lelapmu yang baru..
serta kecupan manismu di kening kami yang seolah membayar segala rindu yang memang telah tertahan sejak kemarin-kemarin..

segalanya, masih teringat jelas ayah..
jelas betul dalam ingatan kami..
takpeduli, bahwa segalanya kini diperantarai oleh selembar dua lembar kertas surat..
dan terkadang, tanpa tersentuh indra kehangatanmu sama sekali..
segalanya, masih teringat jelas.

kemudian malam itu
ketika tangan-tangan asing wartawan
menarik
mendorong
memperlakukanmu seolah akan melumat habis dirimu
panas hati kami,
panas jiwa-jiwa kami, ayah..

nafas kami tercekat seakan terhenti sejenak
mata kami terbelalak, namun tetap airmata kami tahan
sengaja tak kami biarkan ia jatuh..
tubuh kami terkaku namun tetap memaksa telinga kami mendengar jernih apa yang mereka tuduhkan kepadamu

kasus suap??
itukah yang merekah tuduhkan?
habiskah akal mereka menuduhkan itu padamu?

tidakkah mereka tau?
detik ketika mereka tidur terlelap menikmati waktu istirahatnya
kau justru baru memulai rapat kesekianmu untuk membersihkan
korupsi, kolusi, nepotisme
yang mereka bilang mereka benci?

tidakkah mereka tau
ketika mereka asik bermimpi,
terlelap dalam mimpi indahnya
mimpi tentang Negara Republik Indonesia
yang bersih
jauuuuh dari kenistaan dan kemarukan petinggi-petingginya
kala itu kau bekerja keras untuk membuat itu terjadi?
menjadikan itu tidak hanya sebatas mimpi
menjadikan mimpi mereka menjadi realiti,
kenyataan

tidakkah mereka tau
ketika kata jihad masih sebuah teori bagi mereka
hanya sebatas angan semata,
kau sudah jauh habiskan waktumu,
jiwamu,
fikiranmu,
hartamu untuk itu..
ketika jihad masih menjadi cita-cita bagi kami
kau seakan jauh
jauuuuuuh telah meninggalkan kami…

tidakkah mereka tahu
ketika mereka menggerutu atas kelelahan mereka
mengeluh atas kesibukan dunia mereka
engkau, ayah
ayah kami ini
dengan senyuman hangat dan setengah mata menahan lelahnya
membukakan pintu rumahnya
menerima setiap gerutu tamunya
kekhawatiran tamunya
keluh kesahnya..
kebutuhannya..
kemudian memberinya solusi
tanpa sedetikpun
tanpa sejenak saja ia menoleh kepada istirahatnya
Kepada hak tubuhnya..

sekarang mereka tuduhkan itu kepadamu ayah?
telingakukah yang salah?
Jangan.. Ayah..
jangan ragu untuk memanggil kami ayah..
bawa jiwa-raga kami bersaksi atas jihadmu yang nyata
karna tak secuilpuun hati kami percaya apa kata mereka
apa tuduhan mereka
apa fitnah mereka ayah..
takkan pernah kami percaya
takkan pernah..

kami tidakkan diam menangisimu ayah
kami akan tetap melangkah
melanjutkan langkah jihadmu
tak peduli sekerdil apapun kami
kami tidak akan malu dan menundukkan kepala kami ayah..
kami akan buktikan bahwa semangat kami takkan kalah dari semangatmu
akan kami tunjukkan
akan kami renggut kembali engkau kembali ke langkah jihadmu, ayah..
jangan engkau khawatirkan kami, ayah..
karna sebagaimana Allah SWT bersamamu
Ia juga bersama langkah-langkah kami..

Doa kami selalu untukmu ayah..
tetaplah tenang dan tersenyum di sana
tetaplah pancarkan tatapan penuh semangatmu..
penghidup semangat tinggi kami,
tetaplah tersenyum Ayah
hingga kau kembali ke dekapan kami…

course : (http://www.dakwatuna.com/2013/04/22/31868/puisi-anak-anak-presiden-pks-untuk-sang-penyemangat-jihad/#axzz2TX7TGxwh)

 

Mari Berkarya Tulis

   
Ditulis oleh:
 Salim A. Fillah

Penulis buku-buku best seller: Nikmatnya Pacaran setelah pernikahan, Agar Bidadari Cemburu Padamu, Dalam Dekapan Ukhuwah, dll.

_______________________________________________________________

Di dalamnya terdapat ilmu dan hikmah luar biasa bagi kita, baik yang sudah menulis, tengah menulis, maupun ingin menulis. Langsung saja kita ikuti:  


Mengapa Menulis
1. Menulis adalah mengikat jejak pemahaman. Akal kita sebagai kurniaNya, begitu agung dayanya menampung sedemikian banyak data-data.


2. Tapi kita kadang kesulitan memanggil apa yang telah tersimpan lama; ilmu dahulu itu berkeliaran dan bersembunyi di jalur rumit otak.


3. Maka menulis adalah menyusun kata kunci tuk buka khazanah akal; sekata tuk sealinea, sekalimat tuk se-bab, separagraf tuk sekitab.


4. Demikianlah kita fahami kalimat indah Asy Syafi'i; ilmu adalah binatang buruan, dan pena yang menuliskan adalah tali pengikatnya.


5. Menulis juga jalan merekam jejak pemahaman; kita lalui usia dengan memohon ditambah ilmu dan dikaruniai pengertian; adakah kemajuan?


6. Itu bisa kita tahu jika kita rekam sang ilmu dalam lembaran; kita bisa melihat perkembangannya hari demi hari, bulan demi bulan.


7. Jika tulisan kita 3 bulan lalu telah bisa kita tertawai; maka terbaca adanya kemajuan. Jika masih terkagum juga; itu menyedihkan.


8. Lebih lanjut; menulis adalah mengujikan pemahaman kepada khalayak; yang dari berbagai sisi bisa memberi penyeksamaan dan penilaian.


9. Kita memang membaca buku, menyimak kajian, hadir dalam seminar dan sarasehan; tapi kebenaran pemahaman kita belum tentu terjaminkan.


10. Maka menulislah; agar jutaan pembaca menjadi guru yang meluruskan kebengkokan, mengingatkan keterluputan, membetulkan kekeliruan.


11. Penulis hakikatnya menyapa dengan ilmu; maka ia berbalas tambahan pengertian; kian bening, kian luas, kian dalam, kian tajam.


12. Agungnya lagi; sang penulis merentangkan ilmunya melampaui batas-batas waktu dan ruang. Ia tak dipupus usia, tak terhalang jarak.


13. Adagium Latin itu tak terlalu salah; Verba Volant, Scripta Manent. Yang terucap kan lenyap tak berjejak, yang tertulis mengabadi.


14. Tapi bagi kita, makna keabadian karya bukan hanya soal masyhurnya nama; ia tentang pewarisan nilai; kemaslahatan atau kerusakan.


15. Andaikan benar bahwa Il Principe yang dipersembahkan Niccolo Machiavelli pada Cesare de Borgia itu jadi kawan tidur para tiran...


16. ..seperti terisyu tentang Napoleon, Hitler, dan Stalin; akankah dia bertanggungjawab atas berbagai kezhaliman nan terilham bukunya?


17. Sebab bukan hanya pahala yang bersifat 'jariyah'; melainkan ada juga dosa yang terus mengalir. Menjadi penulis adalah pertaruhan.


18. Mungkin tak separah Il Principe; tapi tiap kata yang mengalir dari jemari ini juga berpeluang menjadi keburukan berrantai-rantai.


19. Dan bahagialah bakda pengingat; huruf bisa menjelma dzarrah kebajikan; percikan ilhamnya tak putus mencahaya sampai kiamat tiba.


20. Lalu terkejutlah para penulis kebenaran, kelak ketika catatan amal diserahkan, "Ya Rabbi, bagaimana bisa pahalaku sebanyak ini?"


21. Moga kelak dijawabNya, "Ya, amalmu sedikit, dosamu berbukit; tapi inilah pahala tak putus dari ilham kebajikan nan kau tebarkan."


22. Tulisan sahih dan mushlih; jadi jaring yang melintas segala batas; menjerat pahala orang terilham tanpa mengurangi si bersangkutan.


23. Menulis juga bagian dari tugas iman; sebab makhluq pertama ialah pena, ilmu pertama ialah bahasa, dan ayat pertama berbunyi "Baca!"


24. Tersebut di HR Ahmad dan ditegaskan Ibn Taimiyah dalam Fatawa, "Makhluq pertama yang diciptaNya ialah pena, lalu Dia berfirman...


25. .."Tulislah!" Tanya Pena; "Apa yang kutulis, Rabbi?" Kata Allah; "Tulis segala ketentuan yang Kutakdirkan bagi semua makhluqKu."


26. Adapun ilmu yang diajarkan pada Adam dan membuatnya unggul atas malaikat nan lalu bersujud adalah bahasa; kosa kata. (QS 2: 31)


27. Dan "Baca!"; wahyu pertama. Bangsa Arab nan mengukur kecerdasan dari kuatnya hafalan hingga memandang rendah tulis-baca, Sebab...


28. ..menulis -kata mereka- ialah alat bantu bagi yang hafalannya di bawah rata-rata, tiba-tiba meloncat ke ufuk, jadi guru semesta.


29. Muhammad hadir bukan dengan mu'jizat yang membelalakkan; dia datang dengan kata-kata yang menukik-menghunjam, disebut 'Bacaan'.


30. Maka Islam menjelma peradaban Ilmiah, dengan pena sebagai pilarnya; wawasan tertebar mengantar kemaslahatan ke seantero bumi.


31. Semoga Allah berkahi tiap kata yang mengalir dari ujung jemari kita; sungguh, buku dapat menggugah jiwa manusia dan mengubah dunia.


32. Bagaimana sebuah tulisan bisa mengilhami; tak tersia, tak jadi tragika, dan tak menjatuhkan penulisnya dalam gelimang kemalangan?


3 Kekuatan Menulis
33. Saya mencermati setidaknya ada 3 kekuatan yang harus dimiliki seorang penulis menggugah; Daya Ketuk, Daya Isi, dan Daya Memahamkan.


Daya Ketuk
34. Daya Ketuk ini paling berat dibahas; yang mericau ini pun masih jauh & terus belajar. Ia masalah hati; terkait niat & keikhlasan.


35. Pertama, marilah jawab ini: 1) Mengapa saya harus menulis? 2) Mengapa ia harus ditulis? 3) Mengapa harus saya yang menuliskannya?


36. Seberapa kuat makna jawaban kita atas ke-3 tanya ini, menentukan seberapa besar daya tahan kita melewati aneka tantangan menulis.


37. Alasan kuat tentang diri, tema, dan akibat dunia-akhirat jika tak ditulis; akan menggairahkan, menggerakkan, membakar, menekunkan.


38. Keterlibatan hati dan jiwa dengan niat menyala itulah yang mengantarkan tulisan ke hati pembaca; mengetuk, menyentuh, menggerakkan.


39. Tetapi; tak cukup hanya hati bergairah dan semangat menyala saja jika yang kita kehendaki adalah keinsyafan suci di hati pembaca.


40. Menulis memerlukan kata yang agung dan berat itu; IKHLAS. Kemurnian. Harap dan takut hanya padaNya. Cinta kebenaran di atas segala.


41. Allah gambarkan keikhlasan sejati bagai susu; terancam kotoran dan darah, tapi terupayakan; murni, bergizi, memberi tenaga suci...


42. ...dan mudah diasup, nyaman ditelan, lancar dicerna oleh peminum-peminumnya, menjadi daya untuk bertaat dan bertaqwa (QS 16: 66).


43. Maka menjadi penulis yang ikhlas sungguh payah dan tak mudah, ada goda kotoran dan darah, kekayaan dan kemasyhuran, riya' dan sum'ah.


44. Jika ia berhasil dilampaui; jadilah tulisan, ucapan dan perbuatan sang penulis bergizi, memberi arti, mudah dicerna jadi amal suci.


45. Sebaliknya; penulis tak ikhlas itu; tulisannya bagai susu dicampur kotoran dan darah, racun dan limbah; lalu disajikan pada pembaca.


46. Ya Rabbi; ampuni bengkoknya niat di hati, ampuni bocornya syahwat itu dan ini, di tiap kali kami gerakkan jemari menulis dan berbagi.


47. Sebab susu tak murni, tulisan tak ikhlas, memungkinkan 2 hal: a) pembaca muak, mual, dan muntah bahkan saat baru mengamati awalnya.


48. Atau lebih parah: b) pembaca begitu rakus melahap tulisan kita; tapi yang tumbuh di tubuhnya justru penyakit-penyakit berbahaya.


49. Menulis berkeikhlasan, menabur benih kemurnian; agar Allah tumbuhkan di hati pembaca pohon ketaqwaan. Itulah daya ketuk sejati.


50. Daya sentuh, daya ketuk, daya sapa di hati pembaca; bukan didapat dari wudhu' dan shalat yang dilakukan semata niat menoreh kata..


51. ...Ia ada ketika kegiatan menghubungkan diri dengan Dzat Maha Perkasa, semuanya, bukan rekayasa, tapi telah menyatu dengan jiwa..


52. ...lalu menulis itu sekedar satu dari berbagai pancaran cahaya yang kemilau dari jiwanya; menggenapi semua keshalihan nan mengemuka.


Daya Isi
54. Setelah Daya Ketuk, penulis harus ber-Daya Isi. Mengetuk tanpa mengisi membuat pembaca ternganga, tapi lalu bingung berbuat apa.


55. Daya Ketuk membuat pembaca terinsyaf dan tergugah; tapi jika isi yang kemudian dilahap cacat, timpang, rusak; jadilah masalah baru.


56. Daya Isi adalah soal ilmu. Mahfuzhat Arab itu sungguh benar; "Fakidusy Syai', Laa Yu'thi: yang tak punya, takkan bisa memberi."


57. Menjadi penulis adalah menempuh jalan ilmu dan berbagi; membaca ayat-ayat tertulis; menjala hikmah-hikmah tertebar. Tanpa henti.


58. Ia menyimak apa yang difirmankan Tuhannya, mencermati yang memancar dari hidup RasulNya; dan membawakan makna ke alam tinggalnya.


59. Dia fahami ilmu tanpa mendikotomi; tapi tetap tahu di mana menempatkan yang mutlak terhadap yang nisbi; mencerahkan akal dan hati.


60. Penulis sejati memiliki rujukan yang kuat, tetapi bukan tukang kutip. Segala yang disajikan telah melalui proses internalisasi.


61. Penulis sejati kokoh berdalil bukan hanya atas yang tampak pada teks; tapi disertai kefahaman latar belakang dan kedalaman tafsir.


62. Dengan proses internalisasi; semua data dan telaah yang disajikan jadi matang dan lezat dikunyah; pembacanya mengasup ramuan bergizi.


63. Sebab konon 'tak ada yang baru di bawah matahari'; tugas penulis sebenarnya memang cuma meramu hal-hal lama agar segar kembali.


64. Atau mengungkap hal-hal yang sudah ada, tapi belum luas dikenali. Diperlukan ketekunan untuk melihat satu masalah dari banyak sisi.


65. Atau mengingatkan kembali hal-hal yang sesungguhnya telah luas difahami; agar jiwa-jiwa yang baik tergerak kuat untuk bertindak.


66. Maka dia suka menghubungkan titik temu aneka ilmu dengan pemaknaan segar dan baru, dengan tetap berpegang kaidah sahih dan tertentu.


67. Dia hubungkan makna nan kaya; fikih dan tarikh; dalil dan kisah; teks dan konteks; fakta dan sastra; penelitian ilmiah dan sisi insaniyah.


68. Dia menularkan jalan ilmu untuk tak henti menggali; tulisannya tak membuat orang mengangguk berdiam diri; tapi kian haus mencari.


69. Ia bawakan pemaknaan penuh warna; beda bagi masing-masing pembaca; beda bagi pembaca sama di saat lainnya. Membaru, mengilhami selalu.


70. Maka karyanya melahirkan karya; syarah dan penjelasan, catatan tepi dan catatan kaki, juga sisi lain pembahasan, dan bahkan bantahan.


Daya Memahamkan
71. Seorang penulis menggugah memulai Daya Memahamkan-nya dengan satu pengakuan jujur; dia bukanlah yang terpandai di antara manusia.


72. Sang penulis sejati juga memahami; banyak di antara pembacanya yang jauh lebih berilmu dan berwawasan dibandingkan dirinya sendiri.


73. Maka dalam hati, dia mencegah munculnya rasa lebih dibanding pembaca: "Aku tahu. Kamu tidak tahu. Maka bacalah agar kuberitahu."


74. Setiap tulisan dan buku yang disusun dengan sikap jiwa penulis "Aku tahu! Kamu tak tahu!" pasti berat dan membuat penat saat dibaca.


75. Kadang senioritas atau lebih tingginya jenjang pendidikan tak tersengaja lahirkan sikap jiwa itu. Sang penulis merasa lebih tahu.


77. Sikap jiwa kepenulisan harus diubah; dari "Aku tahu! Kamu tak tahu!" menjadi suatu rasa nan lebih adil, haus ilmu, dan rendah hati.


78. Penulis sejati ukirkan semboyan, "Hanya sedikit ini yang kutahu, kutulis ia untukmu, maka berbagilah denganku apa yang kau tahu."


79. Penulis sejati sama sekali tak berniat mengajari. Dia cuma berbagi; menunjukkan kebodohannya pada pembaca agar mereka mengoreksi.


80. Penulis sejati berhasrat tuk diluruskan kebengkokannya, ditunjukkan kelirunya, diluaskan pemahamannya, dilengkapi kekurangannya.


81. Penulis sejati jadikan dirinya seakan murid yang mengajukan hasil karangan pada guru; berribu pembaca menjelma guru berjuta ilmu.


82. Inilah yang jadikan tulisan akrab dan lezat disantap; pertama-tama sebab penulisnya adil menilai pembaca, haus ilmu, dan rendah hati.


83. Pada sikap sebaliknya, kita akan menemukan tulisan yang berribu kali membuat berkerut dahi, tapi pembacanya tak kunjung memahami.


84. Lebih parahnya; keinginan untuk tampil lebih pandai dan tampak berilmu di mata pembaca sering membuat akal macet dan jemari terhenti.


85. Jika lolos tertulis; ianya jadi kegenitan intelektual; inginnya dianggap cerdas dengan banyak istilah yang justru membuat mual.


86. Kesantunan Allah jadi pelajaran buat kita. RasulNya menegaskan surga itu tak terbayangkan. Tapi dalam firmanNya, Dia menjelaskan.


87. Dia gambarkan surga dalam paparan yang mudah dicerna akal manusia; taman hijau, sungai mengalir, naungan rindang, buahan dekat..


88. ..duduk bertelekan di atas dipan, dipakaikan sutra halus & tebal, pelayan hilir mudik siap sedia, bidadari cantik bermata jeli..


89. Allah Maha Tahu, tak bersombong dengan ilmu; Dia kenalkan diriNya bukan sebagai Ilah awal-awal, melainkan Rabb nan lebih dikenal.


90. Penulis sejati hayati pesan Nabi; bicaralah pada kaum sesuai kadar pemahamannya, bicaralah dengan bahasa yang dimengerti mereka.


91. Penulis sejati mengerti; dalam keterbatasan ilmu nan dimiliki, tugasnya menyederhanakan yang pelik, bukan merumitkan yang sahaja.


92. Itupun tidak dalam rangka mengajari; tapi berbagi. Dia haus tuk menjala umpan balik dari pembaca; kritik, koreksi, dan tambah data.


93. Penulis sejati juga tahu; yang paling berhak mengamalkan isi anggitannya adalah dirinya sendiri. Daya Memahamkan berhulu di sini.


94. Sebab seringkali kegagalan penulis memahamkan pembaca disebabkan diapun tak memahami apa yang ditulisnya itu dalam amal nyata.


95. Begitulah Daya Memahamkan; dimulai dengan sikap jiwa yang adil, haus ilmu, dan rendah hati terhadap pembaca kita, lalu dikuatkan..


96. ..dengan tekad bulat tuk menjadi orang pertama nan mengamalkan tulisan, dan berbagi pada pembaca dengan hangat, akrab, penuh cinta.


97. Kali ini, tercukup sekian ya Shalih(in+at) bincang #Write. Maafkan tak melangkah ke hal teknis, sebab banyak nan lebih ahli tentangnya:)


98. Kita lalu tahu; menulis bukanlah profesi tunggal dan mandiri. Ia lekat pada kesejatian hidup sang mukmin; tebar cahaya pada dunia.


99. Maka menulis hanya salah satu konsekuensi sekaligus sarana bagi si mukmin tuk menguatkan iman, 'amal shalih, dan saling menasehati.


100. Jika ada 'amal lain yang lebih kuat dampaknya dalam ketiga perkara itu; maka kita tak boleh ragu: tinggalkan menulis menujunya.

______________________________________________
Sekalipun sekadar copas, semoga bermanfaat.


course :(http://yuris-saputra.blogspot.com/2012/12/mari-berkarya-tulis_2.html)