Cahaya Islam di Bumi Papua


 Sahabat, satu lagi kisah inspirasi yang saya temukan dari sosok da’i yang luar biasa dari papua.

Dibalik cerita yang dia kemukakan, terkandung sebuah inspirasi dan motivasi besar untuk diri ini.

Ternyata perjuangan yang kita lakukan demi dakwah ini, tak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan perjuangan mensyiarkan Islam dari orang yang ada luar biasa ini.

Betapa tidak, untuk sebatas wilayah kampus saja, terkadang terasa begitu berat, banyak sekali kata-kata mengeluh terlontar dari mulut ini, hanya karena setitik rintangan yang dihadapi. Ya Raab terimakasih kau telah memberikan inspirasi ini untuk hamba.


SANG PERINTIS BENDERANGNYA CAHAYA ISLAM DI BUMI PAPUA (USTADZ SABUN)

 



Papua, dikenal sebagai salah satu penghasil emas terbesar di dunia. Tak hanya emas, sumber daya alam lainnya pun melimpah. Bumi cenderawasih begitu kaya. Tapi ternyata, kekayaan itu tidak mengangkat derajat hidup masyarakat di sana. Mayoritas masyarakat masih hidup miskin, bahkan sebagaian besar penduduk asli masih tinggal di pedalaman.

Julukan sebagai salah satu provinsi yang tertinggal lantas kerap disematkan pada wilayah paling timur di Indonesia ini. Jika ada orang Papua yang punya keistimewaan, mereka kerap dijuluki sebagai mutiara hitam. Dan salah satu yang layak memperoleh ‘gelar’ itu adalah Muhammad Zaaf Ustaz Fadhlan Rabbani Al-Garamatan.

Pria kelahiran Patipi, Fak-Fak, 17 Mei 1969 itu, adalah putra dari pasangan Machmud Ibnu Abu Bakar Ibnu Husein Ibnu Suar Al-Garamatan dan Siti Rukiah binti Ismail Ibnu Muhammad Iribaram. Sejak tahun 1985, ia memulai dakwahnya di bumi Papua. Ustaz Fadhlan , lebih senang menyebut Papua dengan Nuu Waar.

Nuu Waar adalah nama pertama untuk Papua, sebelum berubah menjadi Irian Jaya, dan Papua saat ini. Nuu Waar, dalam bahasa orang Papua, berarti cahaya yang menyimpan rahasia alam. “Papua dalam bahasa setempat berarti keriting. Karena itu, komunitas Muslim lebih senang menyebutnya dengan Nuu Waar dibandingkan Irian atau Papua,” ujar Ustaz Fadhlan kepada kami, di sela-sela kunjungannya pada peresmian pesantren HILAL Bogor 22 mei lalu.

Ustaz Fadhlan menegaskan, berdasarkan catatan sejarah, Islam adalah agama yang lebih dulu masuk ke Nuu Waar, terutama di Fak-Fak, dibandingkan dengan Kristen. Namun, karena misionaris lebih gencar menyebarkan paham agamanya, maka jadilah agama ini tampak dominan. “Padahal, saat ini jumlah umat Islam bisa lebih banyak dari orang Kristen di sana,” ujarnya.

Karena itulah, ustad yang selalu memakai gamis itu terpanggil untuk mengembalikan kejayaan Islam ke bumi Nuu Waar. Di Fak-Fak khususnya, terdapat kerajaan Islam pertama di Papua, dan Ustaz Fadhlan adalah salah seorang generasi kesekian dari kerajaan Islam itu. Nenek moyangnya dulu adalah penguasa kerajaan Islam disana.

Sebagai penanggung jawab meneruskan kerajaan Islam, Ustaz Fadhlan berkewajiban untuk membangkitkan kembali kejayaan Islam di Nuu Waar. Ia masuk keluar masuk pedalaman, turun dan naik gunung menyebarkan Islam. Bahkan harus berjalan kaki untuk mengenalkan dakwah Islam kepada penduduk setempat. “Alhamdulillah, sudah banyak yang mengenal Islam.”

Lalu mengapa dirinya tetap mau berdakwah ditengah sulitnya kondisi alam dan luasnya wilayah dakwah? Bagi Ustaz Fadhlan , disitulah tantangannya. “Kami berkewajiban untuk menyampaikan risalah Islam. Jika di akhirat kelak malaikat bertanya; “Mengapa ada saudaramu di pedalaman yang belum memeluk Islam?” Itu berarti tanggung jawab kita semua, umat Muslim di Indonesia, yang belum mampu mendakwahkan ajaran Islam dengan baik,” terangnya.

Dalam mengenalkan Islam kepada penduduk setempat tidaklah mudah. Banyak tantangan dan rintangan yang dihadapi. Mulai dari soal luas wilayah, kondisi alam yang sulit karena terjal, bebatuan, ada pegunungan, dan lainnya. Namun, semua itu tidak membuat Ustaz Fadhlan dan rekan-rekannya berhenti dalam berdakwah.

“Dulu, sebelum ada kapal Al Fatih Kafilah Nusantara (AFKN) 1 dan 2, untuk mencapai tempat yang dituju, kami harus berjalan kaki, dan itu bisa membutuhkan waktu hingga tiga bulan. Terkadang ada binatang buas juga. Tapi itu semua adalah tantangan untuk ditaklukkan,” ujarnya.

Rintangan bukan hanya soal kondisi alam saja, tetapi respon penduduk setempat. “Terkadang ada juga yang melemparkan tombak bahkan panah. Ya, itu sudah biasa kami alami. Itu belum seberapa dibandingkan perjuangan Rasulullah. Beliau bahkan diusir dari negerinya (Makkah), karena ketidaksukaan penduduknya menerima dakwah Rasul. Namun beliau tetap sabar. Karena itu pula, kami pun harus sabar,” terangnya.

Begitu beratnya tantangan dakwah, tak sedikit beberapa anggota dai yang dibawa Ustaz Fadhlan memilih kembali pulang. Mereka ngeri mendengar berbagai ancaman yang ada. “Saya katakan, apakah mereka siap mati syahid? Dari 20 orang yang bertahan hanya tujuh orang.”

Dengan penuh kesabaran dan keikhlasan, serta tawakal kepada Allah, berbagai usaha dan upayanya, kini membuahkan hasil. Sudah banyak penduduk Papua yang menjadi Muslim. Ia menyebutkan sekitar 221 suku yang sudah memeluk Islam. Subhanallah..! Jumlah warga tiap suku bervariasi, mulai dari ratusan sampai ribuan. Jika dipukul rata tiap suku seribu orang, maka kerja keras Ustad Fadlan sudah mengislamkan 220 ribu orang Papua pedalaman.

Ini belum termasuk jumlah tempat ibadah yang dibangun. Mungkin ratusan jumlahnya.
Inovasi dakwah yang dilakukan Ustadz Fadzlan telah menyentuh masyarakat Papua yang sebelumnya jahiliyah menjadi masyarakat yang menjunjung tinggi peradaban. Sederhana saja, ia kenalkan Islam pada masyarakat Papua melalui sabun mandi. Perlu diketahui, sebelum mengenal Islam, orang Irian terbiasa mandi dengan melulurkan minyak babi ke tubuh mereka. Katanya untuk menghindari nyamuk dan udara dingin. Sejak “berkenalan” dengan sabun mandi, masyarakat Papua itu kini tak lagi menggunakan lemak babi.

“Kami berdakwah tentang kebersihan secara bertahap. Suatu ketika pernah ada seorang kepala suku yang begitu menikmati sabun mandi. Kemudian tanpa dibilas lagi, kepala suku itu langsung keliling kampung karena merasa senang dengan bau wangi sabun ditubunya,” kenang Fadzlan seraya tersenyum lebar.

Bukan hanya sabun mandi, Ustadz Fadzlan juga mengajarkan masyarakat Nuuwar yang selama ini hanya mengenakan koteka (bagi yang pria) lalu secara bertahap mulai mengenakan pakaian.
“Awalnya kami kenalkan celana kolor, mereka tertawa. Namun, ketika mereka memakainya dan lama-lama enjoy, malah akhirnya malu melepasnya. Lalu kami bawakan cermin. Ketika masih telanjang, mereka takut melihat bayangannya sendiri. Setelah memakai celana dan baju, mereka merasakan perubahan dalam dirinya. Ternyata lebih bagus,” kata Fadzlan yang juga menjembatani generasi Nuuwar untuk mendapatkan beasiswa pendidikan.

Dakwah Dengan Sepotong Sabun

Beliau memulai dakwah di Papua pada era 80-an. Saat itu, dimana transportasi hanya mengandalkan kekuatan telapak kaki, lamanya jarak tempuh antara Papua dan Wamena mencapai dua bulan perjalanan. Akhirnya saat berangkat, masih dalam jarak sekitar dua minggu perjalanan bekal mereka habis. Rombongan da’i ini kemudian memutuskan untuk kembali pulang. Akhirnya, mereka memilih strategi untuk menumpangi pesawat para misionaris, dengan mengganti nama mereka menjadi nama beraroma kristiani.
Sesampainya disana ustadz Fadlan amat terenyuh melihat kondisi masyarakat yang amat memprihatinkan. Harkat sebagai manusia seperti telah dibusukkan bersama gerobak sampah. Martabat mulia sebagai mahkluk ciptaan yang istimewa bagai dipoles bersama-sama dengan aspal hitam jalanan. Disana ia mendapati penduduk papua melumuri minyak babi ke tubuhnya yang mereka kenal denga ritual mandi. Tidak hanya sampai disitu, para ibupun ketika selesai menyusui anak-anak mereka maka mereka kemudian menyusui anak-anak babi.
Kemudian Ustadz ini menawarkan sepotong sabun kepada kepala suku. Selanjutnya sang kepala suku melumuri tubuhnya dengan sabun tersebut tanpa membilasnya persis seperti mereka melumuri tubuhny dengan minyak babi. Saking senang dengan keharuman yang didapatnya dari sepotong sabun tadi, sang kepala suku berlarian keliling kampung. Seketika hujan mengguyurnya dengan kesegaran yang luarbiasa. Saat itulah sang kepala suku merasakan kolaborasi kenikmatan segar dan harum sekaligus. Kemudian dengan perasaan yang masih berbunga-bunga ia mendatangi ustadz Fadlan untuk berterima kasih “Terima kasih anang, inilah cara membersihkan tubuh yang benar. Tuhan langsung memandikan saya dengan airnya dari langit” Kemudian Ustadz Fadlan dan rombongan sholat berjama’ah dengan dikelilingi oleh para penduduk. Selama sholat, sang kepala suku memperhatikan mereka dengan keheranan dan tidak sabar menunggu mereka selesai untuk segera bertanya.
Nang, tadi Bapak liat anang komat kamit sambil angkat-angkat tangan itu apa maksudnya?” Bapak Kepala suku bertanya dengan lugas. “Tadi kami baru menyelenggarakan sholat Pak. Agama kami Islam dan tuhan kami Allah. Kami diajarkan untuk menemui-Nya sehari lima kali. Nah, Dialah Yang Maha Kuasa sehingga kemudian kami mengangkat tangan sebagai tanda tiadanya kuasa kami atas diri sendiri.” Ustadz Fadlan mencoba menjelaskan. “Terus Nang, kalau yang tadi anang tunduk-tunduk, apa maksudnya itu, Nang?”. Kepala suku kembali bertanya. “Artinya kita mestilah melihat kembali ke bawah, ke bumi ini. Apa-apa yang ada, kita pelihara, jaga dan lestarikan. Karena untuk itu kita diciptakan. Bukan hanya untuk menikmati, mengkonsumsi.” Dengan bijak ustadz Fadlan mengurai jawaban. “Oh iya, saya setuju dengan Anang. Tapi tadi saya lihat Anang ini sujud mencium-cium papan. Itu apa maksud Anang melakukan itu?” tanya kepala suku yang masih diliputi mimik keingintahuan tersebut. “Itu artinya bahwa Anang dan kawan-kawan semua harus selalu ingat bahwa asal kita adalah dari tanah. Maka tidak boeh ada sedikitpun kesombongan tumbuh dalam hati kita. Itu upaya kita untuk mengingat-ingat bahwa diri kita ini adalah ciptaan saja.” Tanpa bosan ustadz Fadlan tetap meladeni setiap pertanyaan Kepala Suku. “Kemudian Nang, apa tujuan Anang menengokkan kepala ke kanan lalu ke kiri di gerakan terakhir tadi?” Kepala suku pun tak jenuh mengajukan pertanyaan yang mengusik hatinya. “Setelah tadi kami memenuhi hak Allah sebagai tuhan kami maka kemudian kami tetap harus memperhatikan saudara kami di sebelah kanan dan sebelah kiri. Ketika kami melihat ke sebelah kanan dan masih menemukan saudara kami yang bergelimang minyak babi maka akan kami beri mereka sabun untuk membersihkan diri. Ketika kami menoleh ke kiri dan masih menyaksikan saudara kami dalam keadaan telanjang maka akan kami beri mereka pakaian. Ini tanggung jawab moral kita terhadap sesama manusia
Lalu Sang Kepala Suku kemudian bersyahadah bahwa Allah-lah tuhannya dan Muhammad sebagai Rasul yang diutuskan untuk menyampaikan pencerahan dengan berpedoman pada Islam. Syahadah yang kemudian diikuti oleh sekitar 3.720 penduduk yang hadir disana. Lalu para penduduk melakukan mandi masal dengan sepotong sabun yang dibagi empat. Inilah menariknya dakwah dengan modal, sepotong sabun.

Pernah Dipanah Saat Berdakwah
Pada tahun 1994, Ustadz Fadlan dan rekan-rekan berencana untuk berdakwah disebuah daerah sejauh sembilan hari perjalanan dari Papua. Dari sekitar dua pulun da’i yang ada, hanya sekitar enam da’i yang berani memutuskan untuk berangkat. Bukan hanya terkait masalah jarak karena disana para penduduk sudah diperingatkan oleh para misionaris akan kedatangan mereka. Dan sambutan lontaran-lontaran anak panah para penduduk sudah siap menanti mereka. Selama perjalanan, sang ustadz t terus menanyakan kembali komitmen para rekannya untuk menghadapi bahaya yang mengancam.
Benarlah, di hadapan mereka telah siap penduduk yang tersebar di berbagai tempat dengan panahnya masing-masing. Dalam jarak yang sudah teramat dekat dengan lokasi kemudian ia berpesan agar teman-temannya segera pergi apabila nanti ia terkena tembakan anak panak beracun tersebut. Lantas beliau maju menghampiri. Slassssshhh......anak panah pertama mengenai tangan kirinya. Ia tetap melanjutkan langkahnya sampai kemudian slassshhhhhhhh........satu anak panah lagi bersarang di lengan kanannya. Ia limbung dan jatuh. Kemudian terbayang bagaimana siroh menceritakan getirnya dakwah Rasulullah di Tho’if. Kemudian beliau mengangkat tangan ke langit dan bersyukur kepada Allah bahwa ia daat merasakan nikmatnya dakwah ini. Serta rasa syukur bahwa ujian yang ia nilai tidak seberapa bila dibandingkan dengan Rasulullah. Dengan tenaga tersisa ia tetap mencoba mendekati sesosok tubuh yang ia yakini sebagai pemimpin mereka. Kemudian ia mengulurkan tangannya pada sosok itu “Kalau memang saya tidak diperkenankan berkunjung, saya akan kembali. Mohon maaf telah merepotkan Bapak.” Sang kepala suku tertunduk lemas dan menangis “Anang, ijinkan saya mengantar anang pulang” sang kepala Suku merengek.Kepala suku akhirnya juga ikut mengantar sang ustadz berobat ke Makassar. Disana kemudian Kepala Suku melihat nikmatnya ibadah sang ustadz dan rekan-rekan. Dan saat pulang sang kepala suku mengajak pengikutnya secara beramai-ramai menjadikan Islam sebagai landasan hidup. Subhanallah.


Sahabat, semoga kisah  ini mampu memberikan motivasi baru, baik bagi para kader dakwah, maupun pagi para pembaca pada umumnya. Semoga kita bisa tetap istiqomah dalam menjalankan amanah dakwah ini, karena kita telah diberikan medan yang lebih ringan dari pada perjuangan Ustadz padlan ini. Maka harusnya dakwah kita harus lebih optimal.
KERJA KERAS, KERJA CERDAS, KERJA IKHLAS
n_n

course :

http://jundi313.blogspot.com/2009/04/fadlan-ustadz-keriting-perintis.html

0 komentar: