PESANTREN #RISET 6
Pada suatu
hari di sebuah kamar di Jabal Tour 2 (kamar siapa ya?) hehe siapa lagi kalau
bukan kamar saya (zzzz). Nah, nampak seorang senior sedang menumpang melipat
baju. Numpang kok melipat baju ya? Ya emangnya numpang tidur atau mandi aja?
Beliau tidak lain adalah kakak angkatan saya di kampus di lintas fakultas.
Lantas saya berfikir sejenak, daridulu saya sebenarnya kepengen banget ngobrol
dengan beliau, ngobrol serius. Tanya kenapa? Karena saya rasa beliau adalah
salah satu orang yang memotivasi saya secara tidak langsung. Betapa tidak,
walaupun saya satu atap dengan beliau, sama-sama santri, bedanya beliau lebih
senior namun entah mengapa sepanjang kebersamaan kami, saya merasa beliau
adalah sosok teladan yang luar biasa. Padahal kalau ditanya, saya sendiri pun
jarang sekali ngobrol dengan beliau, sapa menyapa saja bisa dihitung, paling
cuma salam dan senyum. Ya mungkin karena kami terpaut umur dan jarak (Lho? Ya
ga lah). Lebih tepatnya karena mungkin beliau sangat sibuk. Dan saya? Pura-pura
sibuk. Hmm tapi kali ini Allah berkehendak lain, kami dipertemukan malah di
kamar saya sendiri, dan disitu saya memberanikan diri untuk bertanya. Bertanya
tentang pertanyaan yang sudah sejak lama ada di dalam benak saya. Sebut saja
namanya mbak Iis.
Saya : Mbak is, boleh saya tanya sesuatu?
Iis : Boleh, mau tanya apa?
Saya : Emm jadi gini, kenapa mbak masih tetep
bisa aktif di perkuliahan, organisasi, dan lain sebagainya padahal juga
nyantri? Banyak orang yang bilang kan mbak, kalo mereka ga mau masuk pesantren
karena rapat-rapat atau agenda organisasi atau yang lain itu juga terkadang
sampai malam, nah sedangkan di pesantren kan mempunyai aturan sendiri yang
tidak memperbolehkan keluar malam? Mereka bilang juga itu akan berdampak pada
tidak maksimalnya peran-peran mereka.
***
Saya menceritakan berbagai pendapat
orang tentang pesantren manakala di kaitkan dengan status mahasiswa. Dengan
penuh semangat dan menggebu-gebu, kata-kata saya yang panjangnya hampir membuat
saya kelelahan sendiri ketika bercerita, dan mbak Iis menjawab.
“Menurut eva
sendiri mbak Iis gimana?”
“Waduh mbak,
saya itu tanya biar jawaban mbak Iis bisa menjernihkan pikiran saya kok saya
malah disuruh menjawab sendiri, ya nanti bisa jadi tambah keruh mbak..Hehe”
“Emm, hal itu
sudah pasti ada di dalam kehidupan kita dek, stigma negatif dan stigma positif.
Dan yang terpenting adalah cara menyikapinya. Memang itu semua akhirnya kembali
ke pilihan masing-masing orang. Buat mbak Iis, belajar agama itu penting. Dan
jalan termudah untuk belajar agama adalah berada di lingkungan yang mendukung
untuk itu. Yaitu pesantren atau asrama. Nah, pastinya akan banyak konsekuensi
yang kita dapat ketika memutuskan untuk nyantri dan juga kuliah. Ya yang
seperti kamu ceritakan tadi, mungkin nanti kita tidak akan maksimal ketika di
jam-jam malam hari. Tapi justru karena itu, berarti kita harus maksimalkan
peran-peran kita pada waktu siang hari. Latihlah dirimu untuk selalu tampil di
depan orang banyak, entah di depan kelas atau dimanapun. Buktikan bahwa gelar
santri yang kamu bawa itu tidak berpengaruh apapun terhadap aktivitasmu. Jadi
rubahlah pendapat orang menjadi, “Oh, ternyata dia santri juga bisa aktif di
organisasi.” “Oh, ternyata dia santri juga bisa berprestasi.”
0 komentar: