Asa, My Inspiration

Bedah Buku Non Fiksi Asa, Malaikat Mungilku Karya Astuti J. Syahban

Namanya Asa Putri Utami. Bocah perempuan kelahiran Surakarta, Jawa Tengah, 31 Maret 1997. Ia baru duduk di kelas lima SD ketika diketahui mengidap lupus (Lupus Erythematous), penyakit mematikan yang keganasannya setara dengan kanker.
Padahal, Asa adalah anak yang periang dan aktif di berbagai kegiatan sekolahnya, mempunyai banyak teman dan sangat peduli terhadap teman-temannya. Asa mempunyai cita-cita untuk menjadi seorang dokter dan penghafal Alquran. “Sebelum menjadi dokter, Asa harus hafal Al-Quran! Seperti yang didambakan dan selalu diimpikan oleh Mama,” demikian salah satu catatan dalam buku hariannya.

Sejak kecil Asa memang sering sakit-sakitan. Namun, kondisi tubuhnya itu tak menghalanginya untuk selalu aktif di sekolah. Dan ketika mengetahui dirinya mengidap penyakit yang mematikan, Asa benar-benar berjuang untuk mengalahkannya. Asa tak pernah mengeluh, semua konsekuensi pengobatan dia terima. Yang penting buatnya, dia bisa sembuh. Asa selalu optimis untuk sembuh, karenanya dia yakin bisa mewujudkan cita-citanya, menjadi dokter dan penghafal Al-Quran “Mama, aku ingin sembuh. Aku masih ingin bersekolah, ingin menghafal Alquran. Aku akan minta terus sama Allah, Ma,” kata Asa suatu kali kepada mamanya.

Optimisme Asa membuat kedua orang tuanya selalu terdorong untuk bekerja keras membiayai pengobatannya. “Kalaupun Asa akhirnya meninggal, papa ingin dia meninggal di rumah sakit, kerena dengan itu kita telah membuktikan, kita sungguh-sungguh mengobatinya,” tekad bapaknya.
Keluarga Asa bukan berasal dari keluarga mampu. Biaya pengobatan Asa banyak diperoleh dari kemampuan si ayah membuat tulisan, baik untuk company profile maupun penulisan biografi pengusaha-pengusaha di Solo. Satu hal keajaiban yang dirasakan keluarga itu, saat mereka membutuhkan dana besar untuk menebus obat atau biaya perawatan, Joko sering mendapat kemudahan mendapat order-order penulisan. Sering Joko mengerjakan order tulisannya di lobi rumah sakit tempat Asa dirawat.

Dengan penyakit lupus yang dideritanya, usia Asa diprediksi tak akan lama lagi. Kematian suatu saat akan menghampiri Asa. Ketika diberitahu perihal itu, Asa menghadapinya dengan tenang. “Pa, bagi Asa, penyakit ini tetap saja nikmat dari Allah”, ujar Asa polos satu waktu kepada ayahnya. Sang ayah terdiam. Tak mampu menanggapinya. Hanya dari pelupuknya berlinang air mata.
Seorang anak kecil yang masih bisa menyempatkan diri untuk peduli terhadap orang lain, walaupun hidupnya sendiri menderita karena penyakit yang dia idap. Suatu kali Asa mendapati teman sekamarnya di rumah sakit yang terlihat kesakitan. Asa meminta kepada ibunya untuk menanyakan nama pasien disampingnya. ”Namanya Ainun,” ujar ibunya. ”Ooo Ainun. Kasihan sekali dia. Ya sudah, aku beri hadiah Al-Fatihah saja,” ucapnya kepada ibunya.
Setelah sekian lama berjuang melawan penyakitnya, Asa menyerah kalah. Pada 11 September 2007, Asa, bocah berumur sepuluh tahun itu menghembuskan nafas terakhir dengan senyum di bibirnya. Senyum yang menyiratkan kemuliaan hidup Asa dan membuat orang-orang yang melihatnya tak mampu membendung air matanya.

Bahkan di keranda-pun, kedua belah bibir Ass tetap menyunggingkan senyum meski kedua matanya terpejam.
Lihat! Asa tidak mati! Ia hanya tidur.” Ucap seorang bocah cilik teman Asa. Iya…Asa tidak mati…Ia hanya tertidur di dunia ini, untuk kembali dibangkitkan di akhirat nanti.
Asa menghadapi kematian dengan senyuman, bagaimana dengan anda?

Ini tentang asa, ini tentang harapan yang terus tumbuh meski kenyataan seakan terpampang nyata di depan mata, bahwa dia sulit sembuh, bahwa sakitnya belum ada obatnya, bahwa hanya miracle yang yang menjadikan asanya menjadi nyata. Tapi asa dalam diri Asa Puteri Utami memang tak pernah mati. Bahwa meskipun akhirnya maut tak mampu dihindari, semangatnya tetap tak pernah padam, kenangan yang ditorehkan dalam lingkungan orang-orang yang dicintainya, menjadikannya sosok yang tak begitu mudah untuk dilupakan. Sebuah memoar yang mengandung hikmah yang mengaduk-aduk emosi, sulit rasanya untuk tidak menangis membaca kisah perjuangan seorang gadis cilik yang sedang berbahagia merenda masa depannya, harus berjuang melawan penyakit langka yang menggerogoti tubuhnya.

Banyak orang sakit kronis yang meninggal sebelum ruhnya meninggalkan jazadnya, karena keputusasaan mereka terkadang bunuh diri karena tak mampu melawan sakitnya. Tidak seperti asa, pun ketika sakitnya tak terampunkan lagi, asa Cuma berteriak ‘Allah…”! Hingga maut menjemputnya asa meninggal dalam untaian zikir yang terus bergema di sela-sela nafasnya. Asa meninggal dalam senyum dan keajaiban-keajaiban yang ditinggalkan. Asa beruntung berada dalam lingkup keluarga yang luar biasa, orang tua yang tiada henti harap, tiada henti meminta keajaiban. Dan keluarga yang mengikhlaskan kepergiaanya dengan indah. Mama yang luar biasa, yang tiada pernah menunjukkan kesedihannya, meski secara nyata dia sungguh rapuh, bukankah bagi seorang ibu, jika anaknya sakit, ibunya juga sakit bahkan lebih. Karena harus pandai-pandai menyembunyikan kesedihan. Buku ini tentang kekuatan antar ibu dan anak yang sama-sama di uji oleh-Nya. Sangat menggugah rasa…. Buku ini penuh inspirasi dan pesan kebaikan. Kita akan belajar kesabaran, keikhlasan dan ketulusan dari keluarga ini dalam menghadapi cobaan hidup mereka. Dan tentu saja kita akan belajar ketabahan dari seorang anak kecil yang selalu berpikir positif.


0 komentar: